A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme
adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut
teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang
dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan
ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada
tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan
(Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama
(Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam
pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah
menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga
informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau
memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu
(Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan
melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara
maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan
kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan
belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam
Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai
berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar
melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah
transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat
pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistikyang
lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang
dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata
sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar
tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif
antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau
lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget
dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap
perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental.
Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual
terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan
yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut
didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan)
yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui
tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif
ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky
adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan
lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar
lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi,
1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan
ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar
konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah
sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi,
(2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh
peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan
dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah
berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi
yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta
didik.
B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya,
bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain,
siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme
sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan
antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme.
Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara
aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat
adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang
dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan
bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses
pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu
didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu,
untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme,
Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan
(4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar
pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme,
Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada
siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar
konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri
pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivisme/
No comments:
Post a Comment