Setidaknya, ada
enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia
berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad
pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang
pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul
Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang
berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurutnya, mazhab Syafi’i berkembang
sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh
diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar
mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam
perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara saat itu.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh
orang-orang Cina. Mereka bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah
seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu.
Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang
Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan
oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai
penelitiannya terhadap naskah Babad
Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Tidak berhenti di
situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cina yang
tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat
mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu.
Hasil
penelitiannya itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten
Kantore,
yang berarti “Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor”. Sekarang
disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haap, Belanda. Pada 1962, terbit
buku Pongkinangolngolan
Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan.
Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti
oleh Poortman.
Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang
Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan
yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat
ketiga ini adalah pemdapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang
bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia
mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden,
Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia.
Pendapat
Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk
nisan kuburan-kuburan raja-raja Pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan
kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan
ternyata sangat mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay,
Gujarat.
Rupanya,
pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje disanggah
oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh
dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di
Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Lebih
jauh lagi, Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak
ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam
yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini
adalah pendapat keempat.
Pendapat
Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam
yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan.
Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Himdu,
sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat,
para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India.
Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir
abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan
Baghdad oleh orang-orang Mongol.
Penyerbuan
yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan
melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia
atau bahkan ke India.
Sebelum Marrison
mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah meyakini bahwa Islam di Indonesia
juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu,
banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.
Setelah
kelima pendapat itu, Hoesein Djajaningrat mengemukakan pendapat keenam tentang
masuknya Islam di Indonesia. Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia
pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada
1913. Disertasinya itu berjudulCritische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurutnya,
Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajaningrat beralasan,
peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali
bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di
Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajaningrat
juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di
beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan
Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul
wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia.
Dapat
terlihat bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang
dipakai dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette,
Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara
pasti, bukan perkiraan.
Karena
itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa menuntut mereka untuk
percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad
ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.
Berbeda
dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang
tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas
pernyataan-pernyataan tertulis yang ada di di dalamnya. Dan juga: masih besar
kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca.
Pendapat
Hamka bahkan lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum
tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan
pribadi. Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat
kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.
Demikian pula,
kiranya, dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang
dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada
objek.
Akan tetapi,
hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya
suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti
menerima konsekuensi-konsekuensi yang ada.
Seperti jika percaya
pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit banyaknya, akan membuat
kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang
Syiah.
Dan karena itu,
Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu
Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkembang.
Apabila kita
memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada abad
ke-7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak masa
para sahabat masih hidup.
Artinya, ketika
para tabi’in ramai-ramai menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir
orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya
jarak yang memisahkan mereka.
Demikian pula,
jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India
Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa dipastikan para pemeluk
pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah dengan akidah Sufi
atau setidaknya mengenal Islam lewat kacamata tasawwuf.
Sumber: Majalah
Konsultasi Kita edisi Perdana, hal. 54-56, judul asli:
Tentang Masuknya Islam ke Indonesia.
No comments:
Post a Comment